Minggu, 12 Mei 2013

JANGAN TOLAK JUDUL SAYA

Ditolak itu emang gak enak, apalagi ditolak tukang ojeg,

"Bang, ke perpustakaan ya?"

"Sama ojeg sebelah aja dek. Adek udah keseringan ngutang."

"O..o..oke bang." (-__-)a
Hidup ini memang lengkap dengan begitu banyak penolakan. Ditolak gebetan, ditolak dosen, dan ditolak bumi.

Ngomong-ngomong soal ditolak, gue sudah sangat sering ditolak gebetan, sepertinya dia menyesal, secara gue kan ganteng (kata nyokap gue), dan untuk urusan judul skripsi, gue gak pernah ditolak sama dosen, ciyus enelan.

Mau tau caranya biar gak ditolak? Banyak caranya, begini...

Cara 1 >>
Setiap kali gue mengajukan judul, pasti masalahnya bukan di dosen, tapi masalahnya ada di gue. Yohaa... gue orangnya suka bosenan, jadi kalo udah bosen sama satu judul, gue suka mengganti dengan judul yang laen (sebenernya gue mau ngomong kalo gue emang sering disuruh ganti judul). --"

Oke lanjut. Gimana caranya biar dosen nge-ACC judul kita, simak percakapan di bawah.

"Bu, ACC-lah judul saya."

"Ooo tidak bisa, belom bagus."

"BU, ACC gak! Kalo enggak... "

"Kalo enggak kamu mau apa?! Mau ngancem saya?!"

"Iya! Kalo Ibu enggak ACC judul saya, Ibu bakal saya unfollow."

"Ja..ja..jangan..." (Kemudian di ACC)
Cara 2 >>
Metodenya masih sama, yaitu dengan nakut-nakutin dosen. Dosen adalah manusia (mungkin), jadi mereka masih membutuhkan udara untuk bernapas. Ngomong-ngomong soal bernapas, napas gue wangi loh... oke abaikan aja, maksudnya begini, biar judul enggak ditolak, simak percakapan di bawah,

"Pak tolong ACC judul saya, kalo Bapak bernapas berarti IYA, kalo Bapak tahan napas seharian berarti ENGGAK."

"O..oo..oke." (Kemudian di ACC)
Cara 3 >>
Sebenernya metode ini masih sama kayak metode di atas, cuma dimodifikasi sedikit. Instruksi utamanya adalah, sebelum mengajukan judul ke dosen, pastikan tempat bimbingan kalian ada di tempat KETINGGIAN, misal kayak lantai paling atas rektorat, ruang bimbingan lantai 10 (kalo ada), atau bimbingan di tower mesjid.

Kalo syarat di atas udah terpenuhi, biar judul gak ditolak, simak percakapan berikut,

"Pak, tolong ACC judul saya, kalo Bapak masih di ruangan ini berarti IYA, kalo Bapak lompat dari gedung berarti ENGGAK."

"Oo..o..oke.." (Nah, kalo gak di ACC juga, jorogin aja, eh.)
---------

Itu aja tipsnya (gue udah kena luka bacok dari dosen-dosen),

Ya.. walau bagaimana pun dosen pembimbing kalian, tetaplah hormat kepada mereka, karena bagaimana pun juga, mereka tetap insan yang berjasa, asik.


Judul itu kayak gebetan, kalo ditolak, ya cari yang laen. Dan Skripsi itu memang baik, tapi lebih baik kalo gak ada skripsi, okesip.
[end]

dikutip dari : skripsit.com

Senin, 22 April 2013

TULISAN INI GAK LUCU

Lagi-lagi... pembahasan ipeka selalu menjadi pembahasan yang sensitif antara kubu ipeka tinggi dengan kubu ipeka rendah, yang akhirnya malah jadi ajang saling mencak-mencak dengan alasan salah satu kubu yang "berpikir sempit".

Di kubu pertama, mereka berargumen bahwa, "ipeka itu salah satu pintu kesuksesan.", di satu kubu yang lain, mereka juga gak mau kalah, "ipeka itu gak penting, yang penting survive pasca kampus."

Well well, gak ada yang salah, dan gak ada yang bener juga. Semuanya cuma relativitas aja kok. *uhuk

Sedikit gue analisa, biasanya orang-orang yang berpendapat kalo ipeka itu adalah salah satu pintu sukses, bisa dipastikan kalo mereka adalah golongan mahasiswa yang punya ipeka di titik aman.

Sebaliknya, orang yang berpendapat bahwa ipeka itu gak penting, bisa dibilang mereka adalah mahasiswa yang tersiksa karena ipekanya yang nangkring.

Oke oke, bagi gue pribadi, ipeka gak akan jadi penting kalo cuma jadi hiasan di atas kertas belaka atau cuma dijadiin spekulasi biar aman nyari kerja yang notabene butuh requirement ipk minimal tiga.

*pembahasannya mulai berat *mikul beras

Ada semacam hal yang sangat konspiratif, yang sebenernya gak mau gue ceritain karena sifatnya subjektif, tapi apa boleh buat kalo kalian memaksa (siapa juga yang maksa... ) --"

-----------

Mari kita mulai,

Pendidikan seakan dijadikan semacam sistem yang mewajibkan pelajar/mahasiswanya dipacu biar berlomba ngedapetin nilai bagus semata, sehingga mereka bisa mencapai NEM, IPK, atau indeks serupa dengan nilai tertentu (sesuai standar tertentu).

Tujuannya apa? Biar nanti, mereka bisa dipekerjakan jadi pegawai di perusahaan-perusahaan besar. Itu masih bisa dibilang hal wajar jika nanti mengabdi di perusahaan nasional, tapi hal itu akan jadi aneh ketika lulusan-lulusan universitas digiring bekerja di perusahaan-perusahaan asing dengan iming-iming 'gaji besar' padahal nilainya setara honor cleaning service di negara asal perusahaan. (coba baca ini)

Parahnya, bekerja di perusahaan asing malah dianggap sebagai prestasi, ini tradisi yang memilukan, alah. *miris

Menurut gue, tenaga pengajar sekarang lebih banyak menekan pelajarnya biar dapet nilai bagus semata, tujuannya biar mahasiswa akan merasa aman bekerja di dunia pasca kampus.

Karena kalo mahasiswanya sampe gak dapet nilai bagus, pengajar dan institusi bakal berurusan sama akreditasi - imbasnya sama peminat di institusi (yang berkurang) - gengsi institusi (yang berkurang) - subsidi dan perhatian pemerintah (yang berkurang) - gaji pengajar (yang berkurang), dan lain lain, dan lain lain.

Intinya, institusi kita gak mau mengambil risiko terlalu tinggi, dan ujungnya gak akan lepas dari kepentingan beberapa pihak.

Anyway, emang yang dimaksud risiko, risiko apa Sam? 

Risiko itu adalah ketakutan pengajar dan institusi kepada lulusannya jika sampe mereka gak dapet nilai bagus, maka kehidupan pasca kampus mereka akan mengecewakan, dengan begitu bisa berimbas pada reputasi institusi yang meluluskan mahasiswanya. (serius ini berat, semoga pada ngerti) .___.

Simpelnya begini,

"Kamu harus punya nilai bagus! Biar nanti lulus dapet pekerjaan di perusahaan bagus!"
"Kenapa saya harus kerja jadi pegawai Pak?"
"Karena hidup kalian akan lebih terjamin.", sepintas ada benarnya juga, padahal mungkin dalam hati mereka akan terucap "Soalnya kalo elo menganggur, nanti nama baik gue yang jadi jelek."
Nyatanya, masih aja banyak sarjana yang kemudian menggantung nasib jadi pengangguran. Well well, kekhawatiran institusi terlalu berlebihan, malah menjadi semacam dogma (gukguk) yang salah kaprah.

Ada semacam keterkaitan konspiratif antara institusi, perusahaan, dan pemerintah. Kebanyakan perusahaan akan meminta qualifikasi ipk minimal dan atau ijazah sebagai syarat bergabung di perusahaan yang bersangkutan. Sehingga akan tercipta pola sebagai berikut:
Perusahaan membuat sistem kualifikasi - universitas membuat sertifikasi semacam ipk dan ijazah - mahasiswa akan ter-mindset berkuliah untuk mengejar ijazah (ilmu yang seharusnya dicari malah cenderung diabaikan) - untuk mendapat sertifikasi, kemudian institusi membuat sistem pembiayaan belajar menjadi 'mahal' - uang kuliah selama 4 tahun (efektif) mahasiswa akan terkesan menjadi uang untuk 'membeli' ijazah toga - persaingan yang ketat untuk mengejar sertifikasi malah menimbulkan banyak masalah seperti: jual beli ijazah atau joki skripsi, bahkan hal yang kecil semacam nyontek atau copas, yang udah sering terjadi dan tentunya akan menjadi cikal bakal koruptor-koruptor muda.
So, ini semua jadi semacam rantai setan yang susah diputus. Kalo masalah pendidikan kita ada di biaya, gue rasa APBN untuk pendidikan masih bisa me-mark up ratusan ribu jiwa anak bangsa untuk menjalani proses pendidikan.

Bahkan, pemerintah ngada-ngada aja bikin anggaran 20M cuma bikin toilet gedung DPR, padahal anggaran itu bisa diarahkan untuk masalah negara yang lebih prioritas, yaitu pendidikan dan kesehatan. Tapi nyatanya, korupsi merajalela, anggaran disalahgunakan, miss-alokasi dana, dan sebagainya.

Makanya, pejabat pemerintah yang korup, aseli JAHANAM BANGET! GANYANG!

Kira-kira begitulah konspirasi pendidikan kita, beginilah adanya, sadar gak sadar. Gue harap, kalian yang membaca enggak cuma dompetnya aja yang kritis, tapi cara berpikirnya juga harus kritis, okesip.

--------

Fenomena banyaknya pengangguran, mungkin disebabkan oleh sedikit institusi pendidikan kita yang menanamkan sikap survival untuk menghadapi kehidupan pasca kampus.

Faktanya, karena mahasiswa udah dilatih hidup aman, maka sarjana-sarjana akan sangat bergantung sama lowongan kerja pada perusahaan tertentu. Yang pada akhirnya, mereka lebih memilih menunggu perusahaan merecruitmereka, ketimbang melangkah ke zona tidak nyaman untuk membuat usaha mandiri atau berwirausaha.

Hmm... analisa gue logic kan?

-------

Kembali ke masalah ipeka.

Ipeka emang penting, bagi mereka yang mau hidup aman. Tapi bagi sebagian pemenang, mereka gak akan terobsesi sama begituan, karena mereka tau bahwa "nilai di atas kertas buatan manusia itu" gak akan punya pengaruh besar untuk kehidupan masa depannya.

Gue pernah membaca riwayat Bill Gates yang sama-sama kita tau bahwa dia adalah mahasiswa DO. Dia pernah merasa khawatir ketika disuruh harus berpidato di depan mahasiswa yang belom wisuda, maka mahasiswa tersebut malah akan memilih ninggalin kuliah mereka dan mengikuti jejak Bill Gates yang di-DO. (baca pidatonya di sini)

Ya.. gue pribadi merasa mendingan, masih harus bersyukur bisa kuliah. Karena bagi gue, pendidikan itu tetep penting, tentunya bagi mereka yang berniat belajar, bukan berorientasi pada nilai.

Bahkan ada statement yang lebih ekstrem dari Robert Kiyosaki, bahwapendidikan formal itu gak penting, karena sekolah gak ngajarin lulusannya untuk mengelola hidup en keuangan. Dan setelah elo baca buku karangannya, elo akan berpikir bahwa ternyata "kuliah selama ini sia-sia"(baca ini)

Hehe, saran gue jangan se-ekstrem itu, elo masih punya orang tua yang harus dibuat bangga dengan wisuda.

--------

Dalam postingan yang GAK LUCU kali ini, gue cuma mau berpesan. Seenggaknya, mahasiswa sebagai kaum intelek harus mampu mengambil sikap, yaitu:
  1. Kalo mau jadi pegawai, duduk aja yang ganteng di bangku kuliah, terus dapetin nilai sebagus mungkin biar aman.
  2. Kalo mau jadi pengusaha, duduk yang kalem, gak perlu ngoyo sama nilai, yang penting dapet ilmu yang bisa dimanfaatin nanti di dunia usaha.
  3. Kalo mau jadi leader, ikutlah organisasi, jadi aktivis, belajar negosiasi, belajar mengatur orang, biar nanti elo bisa membayar orang-orang ber-ipeka tinggi (nomer 1).
  4. Kalo mau banyak manfaat, belajarlah yang tekun, dapetin ilmu yang bermanfaat, nilai bakal ngikut dengan sendirinya, perluas wawasan en pergaulan, aktiflah di kegiatan luar kampus, berprestasilah, tinggiin ipeka elo, tapi rendahkan hati elo, maka elo akan membuka kesempatan belajar buat mereka-mereka yang ada di nomer 1, mengajak sukses orang-orang nomer 2, dan duduk berdampingan sama orang-orang nomer 3, atau intinya elo bisa bermanfaat buat banyak orang.
Silakan memilih. Life is too short, test your own luck. Okesob?

----------

Kalo pun ipeka itu pintu kesuksesan, maka, bagi elo yang pintu kesuksesannya terlanjur tertutup, jangan kecewa karena akan ada pintu lain yang akan terbuka.
"Maybe you're reason why, all the doors are closed, so you could open one that lead you to the perfect road." - Firework
[end]

*tulisan ini gak berniat menyinggung siapa pun, cuma untuk membuka wawasan en pikiran, plis openmind..


Sumber : http://www.skripsit.com/2013/01/gak-lucu.html

Rabu, 17 April 2013

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DI KELAS


PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DI KELAS
 CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.
  1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
  2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
  3. kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
  4. Ciptakan masyarakat belajar
  5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
  6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan
  7.  Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
 A.    Tujuh Komponen CTL 
1.  KONSTRUKTIVISME 
  • Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal
  • Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan
2.  INQUIRY     
  • Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman
  • Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis 
3.  QUESTIONING (BERTANYA)
  • Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa
  • Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry
4. LEARNING COMMUNITY (MASYARAKAT BELAJAR) 
  • Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar
  • Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri
  • Tukar pengalaman
  • Berbagi ide
5.MODELING (PEMODELAN) 
  • Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar
  • Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya
 6. REFLECTION ( REFLEKSI)
  • Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari
  • Mencatat apa yang telah dipelajari
  • Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok
 7. AUTHENTIC ASSESSMENT (PENILAIAN YANG SEBENARNYA)
  • Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa
  • Penilaian produk (kinerja)
  • Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual
B.Karakteristik Pembelajaran  CTL
  • Kerjasama
  • Saling menunjang
  • Menyenangkan, tidak membosankan
  • Belajar dengan bergairah
  • Pembelajaran terintegrasi
  • Menggunakan berbagai sumber
  • Siswa aktif
  • Sharing dengan teman
  • Siswa kritis guru kreatif
  • Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
  • Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain

Dilemma Pendidikan Indonesia by Rhenald Kasali




Sebuah tulisan yang sangat menginspirasi. (Dari sebuah sumber)
Check this out!

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. 

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.

“Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia”, jawab saya.
Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti”, jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu.
“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini”, lanjutnya. 
“Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ”, dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat”, ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan study jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. 

“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan”, ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut, 

“Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

cerita ini diambil dari salah satu teman parlemen Remaja DPR-RI 2011: Eko Indrayadi


[end]

Kamu yang selalu menemani sujud malam ku

kamu yang selalu menemaniku disetiap sujud malam ku

kita curahkan semua isi hati kita kepada Tuhan

berharap kasih sayang Tuhan tercurah kepada kami 

supaya kita di satukan dalam naungan kasih Mu Ya Allah


kamu yang selalu menemani setiap sujud malam ku

aku ingin menjadi imam mu yang baik, yang dapat menuntun mu ke arah kebaikan

jadilah kau pendamping ku..

pendamping di dunia dan akhirat

jadilah kamu sekuntum bunga yang akan mengharumkan setiap langkahku

dan akan memberikan keharuman di surga kelak.


kamu yang selalu menemani setiap sujud malam ku.

aku menginginkan kamu hidup bersama ku

hidup bersama dalam kasih sayang dan Cinta dari Tuhan

menjalani hidup bersama susah dan bahagia bersama tanpa sesuatu yang dapat memisahkan kita.

kecuali atas kehendak Mu Tuhan...

Selasa, 16 April 2013

Save IPK, Save Mahasiswa



Save IPK, Save Mahasiswa, "IPK boleh tinggi asal tetap rendah hati, IPK gpp rendah asal jangan menyerah."

"Jangan nyerah Sam... elo masih punya masa depan.", begitulah nasihat bijak temen-temen gue, padahal dia sendiri yang IPK-nya jongkok. *gue keplak

Mungkin perasaan kecewa akan terlintas di benak elo ketika menghadapi orang-orang yang bertanya, "IPK elo berapa?"

Analisa gue, pertanyaan itu sebenernya punya beberapa alibi: 1) niat ngecengin, 2) nyari temen, 3) maksudnya perhatian, atau 4) minta digampar.

Emang bener sih, orang yang punya IPK rendah cenderung jadi over sensitif.

"Sob, IPK elo berr..a...pp... "
"Lo mau NANYA IPK GUE BERAPA? MASALAH BUAT ELO?! MASALAH HAH?! *ngeluarin golok* MASIH MASALAH HAH?!! EHH JANGAN LARI LO! SINI LO JANGAN KABUR!!!" *kejar-kejaran pake golok
So, saran gue, Keep Calm and Save Your IPK wisely.

--------

Nanya IPK adalah salah satu pertanyaan-pertanyaan sensitif bagi mahasiswa setelah pertanyaan, "Kapan lulus?" dan "Kapan punya pacar?"

Hmmm... saran gue, kalo elo gak mau kena bacok, jangan nanya yang begituan.

Kalo gue sendiri sih enggak masalah mau ditanya punya ipeka berapa. Kalo pun ada yang nanya, gue akan jawab dengan lantang, "Ipeka gue 2, ikutan program KB, ipeka 2 lebih baik." *yang nanya muntah

Yoi, IPK itu kayak NEM, sama-sama 3 huruf, dan manfaatnya cuma sementara. Pernah ngebayangin gak? Setelah kuliah, NEM berasa gak kepake lagi kan?

Ya mungkin sama aja kayak IPK, gunanya cuma buat nyari kerja. Setelah dapet kerja, gak kepake lagi tuh IPK, logikanya...

Kecuali kalo elo mau nyari beasiswa, lanjut S2, atau mau nyari kerja di perusahaan ternama, IPK emang jadi lebih penting, ta..tapi tapi, IPK cuma jadi persyaratan doank loh.

Hmm.. Inilah bukti kalo IPK cuma formalitas di atas kertas, asik.

------

Biasanya kan orang tua en calon mertua suka nanya IPK Sam, gimana donk?:(

Elaaah, takut bener! Mereka tuh lebih seneng kalo kita punya penghasilan tinggi daripada punya IPK tinggi! #sikap

Mangkanye, walau belom wisuda, mulailah belajar gimana nyari penghasilan, biar setelah lulus bisa nambah pengalaman. Sukses bisa dilakuin sebelum wisuda kok, asik. Bersikaplah, "walau IPK gak tinggi, penghasilan harus tinggi", okesip. #mentalkaya

Oiya, belom ada tuh penelitian yang nyebutin bahwa tingginya IPK berkorelasi dengan tingginya penghasilan. Gak percaya? Sumpah biar temen gue disamber gledek! (lah?) (Ini bisa jadi ide penelitian yang menarik)

So, jangan galau lagi ye kalo ada yang nanya ipeka berapa? Jawab aja, "Ipeka gue gak rendah kok, cuma kurang tinggi aja, okesip."

[end]

sumber : http://www.skripsit.com/2013/02/save-ipk-mahasiswa.html#more