Rabu, 17 April 2013

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DI KELAS


PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DI KELAS
 CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.
  1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
  2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
  3. kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
  4. Ciptakan masyarakat belajar
  5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
  6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan
  7.  Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
 A.    Tujuh Komponen CTL 
1.  KONSTRUKTIVISME 
  • Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal
  • Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan
2.  INQUIRY     
  • Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman
  • Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis 
3.  QUESTIONING (BERTANYA)
  • Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa
  • Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry
4. LEARNING COMMUNITY (MASYARAKAT BELAJAR) 
  • Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar
  • Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri
  • Tukar pengalaman
  • Berbagi ide
5.MODELING (PEMODELAN) 
  • Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar
  • Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya
 6. REFLECTION ( REFLEKSI)
  • Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari
  • Mencatat apa yang telah dipelajari
  • Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok
 7. AUTHENTIC ASSESSMENT (PENILAIAN YANG SEBENARNYA)
  • Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa
  • Penilaian produk (kinerja)
  • Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual
B.Karakteristik Pembelajaran  CTL
  • Kerjasama
  • Saling menunjang
  • Menyenangkan, tidak membosankan
  • Belajar dengan bergairah
  • Pembelajaran terintegrasi
  • Menggunakan berbagai sumber
  • Siswa aktif
  • Sharing dengan teman
  • Siswa kritis guru kreatif
  • Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
  • Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain

Dilemma Pendidikan Indonesia by Rhenald Kasali




Sebuah tulisan yang sangat menginspirasi. (Dari sebuah sumber)
Check this out!

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. 

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.

“Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia”, jawab saya.
Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti”, jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu.
“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini”, lanjutnya. 
“Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ”, dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat”, ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan study jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. 

“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan”, ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut, 

“Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

cerita ini diambil dari salah satu teman parlemen Remaja DPR-RI 2011: Eko Indrayadi


[end]

Kamu yang selalu menemani sujud malam ku

kamu yang selalu menemaniku disetiap sujud malam ku

kita curahkan semua isi hati kita kepada Tuhan

berharap kasih sayang Tuhan tercurah kepada kami 

supaya kita di satukan dalam naungan kasih Mu Ya Allah


kamu yang selalu menemani setiap sujud malam ku

aku ingin menjadi imam mu yang baik, yang dapat menuntun mu ke arah kebaikan

jadilah kau pendamping ku..

pendamping di dunia dan akhirat

jadilah kamu sekuntum bunga yang akan mengharumkan setiap langkahku

dan akan memberikan keharuman di surga kelak.


kamu yang selalu menemani setiap sujud malam ku.

aku menginginkan kamu hidup bersama ku

hidup bersama dalam kasih sayang dan Cinta dari Tuhan

menjalani hidup bersama susah dan bahagia bersama tanpa sesuatu yang dapat memisahkan kita.

kecuali atas kehendak Mu Tuhan...